Alexander Thian ‘aMrazing’: Dari Buka Counter HP Sampai Jadi Penulis Ternama

Oleh Aprilia Lika, 7 years ago

Novel gue, sih. 'The No-So Amazing Life of Amrazing' dan 'Somewhere Only We Know'. Dua novel ini yang satu nonfiksi dan satu fiksi, dan gue nggak nyangka bahwa gue bisa nulis kayak beginian.

Lebih suka nulis yang mana, fiksi atau nonfiksi?

Fiksi, karena lebih susah. Kalo nonfiksi kan gue menceritakan hidup gue yang memang udah ada. Sedangkan fiksi itu gue membuat dari sesuatu yang nggak ada menjadi ada. And I love it more.

Apakah kamu seorang risk taker? Apa keputusan kamu yang paling risky? 

Iya. Itu tadi, menutup counter HP gue yang penghasilannya minimal 10 juta sebulan di tahun 2009, gede dong. Untung bersih udah bayar gaji karyawan, sewa kontrakan, segala macem, masih bisa mengantongi minimal 10 juta sebulan. Tapi gue malah terjun ke dunia sinetron yang gue nggak tahu apa-apa sama sekali.

Ada saran buat orang-orang yang berpikir untuk mengambil keputusan nekat dan risky juga?

Don't think too much. The more you think about it, the more you won’t do it. Jadi, ya udah, just jump, have faith. Karena menurut gue, gini, kalaupun nantinya lo gagal, ada pelajaran yang bisa lo ambil. Oke, gue gagal, ternyata gue nggak berbakat melakukan hal ini. Ternyata kesalahan gue adalah A, B, C. Lain kali kalau ada kesempatan serupa, lo nggak akan bikin kesalahan yang sama karena lo udah belajar. 

Adakah satu kesalahan yang pernah kamu buat, yang sekarang jadi pelajaran?

Ada, tapi gue nggak nyesel sih, melakukan kesalahan ini. Yaitu tinggal terlalu lama bersama kakak gue, dan takut untuk eksplor. Karena gue bukan dari keluarga kaya, setelah lulus SMA gue nggak punya pilihan selain bantuin kakak gue. Gue ngebantuin dia kerja di warung. Gue bukan tipe orang yang, 'Wah, suatu hari, gue bakal begini begini begini.' Nggak. I don't dream that high. Waktu itu gue ngerti, gue ini bukan siapa-siapa dan nggak punya skill apa-apa. Tapi suatu hari kemudian, gue punya duit 10 juta, gue nabung dari uang yang kakak gue kasih, dari uang jajan gue, dari uang gaji gue, dan gue ngebuka warung sendiri.

I wish waktu itu gue udah belajar menulis dan motret so I can use that money to travel. Itu aja, sih. Karena I wasted three years of my life doing that. Things that I don't like. Karena pada waktu itu gue merasa nggak punya pilihan selain jualan. Jadi tiga tahun yang terbuang. Tapi di balik tiga tahun yang terbuang itu gue mendapatkan keluarga baru, teman baru, pelajaran bahwa in your darkest time there will be help. No matter how small. Itu yang gue dapat.

Kamu juga sekarang menempati posisi sebagai Chief Digital Office di Digital Petrichor. Apa saja peranmu di sana?

Di Digital Petrichor, gue lebih ke tukang rusuh, sebenarnya. Jadi, suatu hari ada teman yang menghubungi gue, bilang, "Lex, ada yang mau ngasih kerjaan buat lo." Gue dateng ke Senayan City dan gue bilang, "Ada apa? Kerjaannya apa?" Ternyata mereka membutuhkan influencer untuk mempromosikan suatu brand yang berafiliasi dengan klub sepak bola ternama, dan mereka tau gue suka banget sama klub sepak bola ini, jadi klop. Di situ gue langsung ngasih tau campaign ini gak akan jalan kalau begini-begini-begini. Akhirnya kita brainstorming, rupanya they were impressed.

Jadi, mereka ini punya satu agency offline yang mempunyai ATL dan BTL tetapi belum punya divisi digital. Beberapa hari kemudian gue ditelepon, "Lex, ada kerjaan lagi, nih." Datenglah gue. Itu gue nggak tahu sama sekali akan ditawari bikin agency digital. Jadi ketika ditawarkan, gue bingung. Gue ini nggak tau apa-apa, loh. "Nggak, Lex. Kita pasti akan belajar sama-sama."

Gue ini bukan orang yang bisa ditantang. This is something I’ve never done before, I’d like to try that, dan mereka tahu. Jadi, ya udah, kemakanlah itu pancingan. Di Digital Petrichor ini gue lebih bertindak sebagai orang yang mencari klien dan mematangkan strategi sebuah campaign karena gue udah sering ikutan campaign di digital media sebagai influencer, jadi gue tahu persis campaign mana yang akan jalan, mana yang tidak. Jadi berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, gue juga belajar untuk bikin sebuah branding campaign, bahasa yang dipakai, personifikasinya, segala macem. Untuk eksekusinya ada teman-teman yang lain.

Apa tantangan utama yang kamu hadapi di pekerjaan ini? Bagaimana cara menyelesaikannya?

Klien yang banyak mau tapi nggak punya duit. Hahaha... Gue ini orangnya bukan tipe yang suka basa-basi, ya. Panasan dan very blunt. Jadi ketika gue udah nggak suka, gue akan bilang gue nggak suka. I cannot sugarcoat my words. Padahal kan butuh diplomasi bagaimana menangani klien. Itu gue banyak belajar di kantor gue, karena ada orang-orang yang lebih ahli. Jadi gue memang belajar ilmu baru lagi. Jadi ketika klien meminta A B C D sedangkan kemampuannya cuma segitu, gue bisa mulai diplomatis, "Pak, gimana kalau ini begini begini, dialihkan ke sini,” instead of going frontal like, "Hey, lo tuh nggak punya duit." Nggak bisa begitu ternyata sama klien. Hahaha... 

Yang paling kamu suka dari kerjaan ini?

Yang paling gue enjoy adalah gue diharuskan untuk membuat suatu strategi dan mempresentasikan strategi tersebut ke hadapan orang-orang besar, orang-orang tajir yang punya perusahaan dan gue cuma punya waktu tujuh detik pertama untuk membuat mereka mendengarkan gue. Teori yang gue baca adalah, saat lo mempresentasikan sesuatu, lo hanya punya waktu tujuh detik untuk membuat mereka memperhatikan. Ketika calon klien lo udah mulai buka HP dan segala macem sementara lo lagi ngomong, itu namanya lo udah gagal. Katanya begitu. Nah, itu challenge yang gue cari banget, sih. Dan sebenarnya karena gue introvert, gue nggak suka ngomong. Jadi banci tampil bukan gue banget. Makanya dari dulu gue memilih profesi yang di balik layar kayak penulis. Bahkan foto-foto travel gue pun 95% isinya ya foto tempat, bukan muka gue. Tapi ini untuk melatih mental juga sih, karena gue biasanya gelagapan kalau disuruh ngomong. Gue nggak nyaman. 

Buku selanjutnya fiksi lagi atau nonfiksi?

Nonfiksi. Gue udah bikin timeline, buku solo gue akan nonfiksi, fiksi, nonfiksi, fiksi. Seperti itu. Nanti judulnya sementara 'The Not So Amazing Life Of Amrazing 2' (TNSALOA 2) yang akan bercerita what happened setelah counter HP. TNSALOA yang pertama itu bercerita tentang counter gue dan manusia-manusia yang gue temui sepanjang gue bekerja sebagai pemilik counter HP tersebut.

Dari mana datangnya inspirasi untuk bahan penulisan cerpen dan novel fiksi?

Gue orangnya random banget. Jadi gue udah punya bank ide, dan ide itu biasanya datangnya tiba-tiba. You don't own idea, idea will choose you. Dan ketika ide itu memilih, gue akan langsung nyatet daripada ntar-ntaran nanti lupa. Lalu ketika waktunya tepat, gue akan baca daftar ide ini dan pikirkan, "Gue bisa kembangin begini begini," seperti di 'Somewhere Only We Know', tadinya gue berencana untuk menulis hal yang lain. Somewhere Only We Know itu based on true story, sih. It’s a fiction but based on true story. Jadi ketika gue mendengar cerita dari teman yang so unfortunate in love life, gue bertanya ke mereka, boleh nggak cerita lo gue jadiin novel? And they said ok.

Apakah kamu sudah berada di posisi yang kamu inginkan dalam hidup?

I can't even answer that question because I never thought that I would be where I am right now. Alex lima tahun yang lalu tidak akan menyangka bahwa Alex lima tahun ke depan akan bepergian ke mana-mana. Alex lima tahun yang lalu cuma makan pakai Indomie, tidurnya di kardus. Lalu apakah aku sudah merasa puas? Nggak juga. Karena sekarang gue malah jadi berpikir, gue mampu, lho, lebih dari ini. Tapi apakah gue seorang yang ambisius? Nggak juga. Ya udah, lihat aja gimana ntar.

What is one thing about you that people always get wrong? Terutama orang yang gak kenal-kenal banget.

Terkadang, mereka ini berpikir kalau gue seorang ekstrovert. They are wrong. Big mistake.

Di pekerjaan kamu sekarang, karakter apa yang kamu cari saat mau merekrut karyawan atau anak buah?

Apakah dia cukup aneh? Aneh dalam artian, orang ini punya mental baja, nggak? Apakah orang ini kalau dihadapkan pada suatu situasi, masalah, dia akan mencari kambing hitam atau dia akan mencari solusi? Gue mencari orang-orang yang orientasinya adalah solusi, bukan masalah. Jadi ketika mewawancari orang, gue akan kasih pertanyaan yang mengandung satu masalah. Gue ingin lihat apakah dia bisa menganalisis masalah itu menjadi sebuah solusi atau tidak. Sesimple itu.

Sedangkan karakter yang bikin kamu ilfeel?

Tukang ngeluh. Cry baby.  

Mana yang lebih menghasilkan buat kamu secara finansial: pekerjaan di kantor, atau sebagai penulis buku?

Lebih besar penghasilan menjadi influencer di sosial media. Untuk sekarang ini, main income saya dari situ. Tapi saat royalti buku dateng, ya udahlah dari situ. Tapi royalti buku kan enam bulan sekali.


BACA JUGA:

Dian Sonnerstedt, Direktur yang Nekat Pindah Jadi Instruktur Yoga

Dari Finance ke Fashion, Perjalanan Karir Jun Mardi

Tips Karir dari Henry Manampiring untuk Generasi Milenial 

 


Sebelumnya

Berlangganan Artikel Kami

Dapatkan tips karir terbaru dengan berlangganan artikel kami



Read This Next



Tweets
Ikuti Kami